Minggu, 22 Juni 2008

Akibat guru killer

Sejak masih kecil aku senang sekali menggambar. Karena waktu itu kertas masih mahal maka kesukaanku menggambar di tanah sehingga mudah sekali dihapus. Kegemaranku adalah menggambar wayang, terutama tokoh Gatutkaca karena sakti mandraguna bisa terbang dan punya banyak ajian. Orang tuaku mengatakan bahwa kelak aku akan menjadi pelukis yang berbakat. Akupum bangga sekali oleh harapan orang tuaku tersebut.
Setelah saya masuk Sekolah Dasar sayan sudah bisa menggambar beberapa tokoh wayang dan saya membuat wayang dari kardus. Nilai pelajaran menggambar sayapun selalu menadapat angka delapan. Itu berlangsung sampai saya duduk di bangku SLTP, yang pada waktu itu saya bersekolah di SLTP calon guru yang namanya Sekolah Guru B (SGB).
Demikian saya melanjutkan ke SLTA kegemaranku menggambar semakin pupus gara-gara aku diajar oleh guru yang sangat piawai dalam melukis tetapi menurut saya kurang pandai dalam mendidik. Biasanya guru yang dianggap killer itu guru ilmu pasti, kalau sekarang ya guru matematik. Tetapi disekolahku justru guru gambar yang killer. Hampair tak ada teman sekelasku nilai menggambarnya dapat tujuh . Untuk dapat nilai enam saja jarang sekali. Padahal saya bercit-cita ingin melanjutkan ke Akademi Senirupa ( ASRI) yang terkenal itu.
Niatkupun kuurungkan masuk ke Akademi Seni Rupa dean mengambil bidang studi lain yang tentu saja cita- citaku yang sejak kecil kudambakan menjadi gagal total akibat guruku yang killer tersebut. Oleh karena itu saya pesankan kepada semua guru ya guru apa saja jangan terlalu pelit memberikan nilai. Sebaliknya berikanlah bimbingan dan bombongan kepada anak didik sehingga anak didik merasa senang dengan mata pelajaran tersebut, jangan sampai ada perasaan takut pada mata pelajaran tertentu.